BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini,
karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun
akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut.
Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil,
padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan
kamil
atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia
utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia
yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal
karena yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.
Maka pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai
filsafat pendidikan islam menurut ahli filosof muslim yaitu “Al-Ghazali dan
Ibnu Khaldun”, mereka memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda mengenai
pendidikan islam. Mereka juga merupakan filosof muslim yang berpengaruh
terhadap perkembangan pendidikan islam di dunia.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Siapa Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
b.
Apa pengertian pendidikan menurut
Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
c.
Apa tujuan pendidikan menurut
Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
d.
Apakah perbedaan pendidik dengan
peserta didik menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
e.
Kurikulum pendidikan menurut
Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun?
1.3
Tujuan Penulisan
Memahami
filsafat pendidikan islam dengan baik menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Filsafat Pendidikan Islam menurut
Al-Ghazali
A.
Biografi Al-Ghazali.
Abu Hamid bin Muhammad bin
Ahmad al-Gazali lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali, lahir di Thus (wilayah
Kurasan) pada tahun 450 H/1058 M. al-Gahazali memiliki keahlian berbagai
disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Ia menyusun bergai
kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Pada dasarnya
buku-buku yang dikarangnya, merupakan upaya untuk membersihkan hati umat islam
dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan pihak-pihak luar, baik
islam maupun barat.
Sejak kecil al-Ghazali
dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Untuk memenuhi
kebutuhan intelektualnya, ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar dengan
imam al-Juwaini. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia mendapat gelar bahrum
Mughtiq (laut yang menenggelamkan). Setelah imam al-Juwaini meninggal dunia
pada tahun 478 H/1085 M, lalu ia menuju Baghdad dan menjadi guru besar di
Madrasah Nizhamiyah yang didirika perdana menteri Nizham al-Mulk.
Setelah mengajar
diberbagai tempat seperti Baghdad, Syam, dan Naisaburi. Akhitnya ia kembali ke
kota kelahirannya, Thus pada tahun 1105 M. Di sini, ia mendirikan sebuah
madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik hinga ia wafat, pada tahun
1111 M.[1]
B.
Pengertian Pendidikan.
Menurut al-Ghazali,
transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana utama untuk
menyiarkan agama islam, memelihara jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas
diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.
Salah satu
keistimewaan Al-Ghazali adalah penelitian, pembahasan dan pemikirannya yang
luas dan mendalam dalam masalah pendidikan. Selain itu, ia juga mempunyai
pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti
bukan memperhatikan aspek akhlak semata seperti yang di tuduhkan oleh sebagian
sarjana dan ilmuwan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain.
Pada hakikatnya usaha
pendidikan dimata Al-Ghazali adalah mementingkan semua hal tersebut dan
mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang
dikembangkan Al-Ghazali berperinsip pada pendidikan menusia seutuhnya.
C.
Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam
berbagai kitabnya, yang disusun sebagai berikut:
1.
Tujuan mempelajari ilmu
pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.
Al-Ghazali mengatakan:
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan atau penalaran terhadap ilmu
pengetahuan, maka engkau akan melihara kelezatan padanya, oleh karena itu
tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu
sendiri.”
Dari perkataan
tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran dan pengkajian yang
mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan
intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, kepada mereka dalam
mencari hakikat ilmu pengetahuan.
2.
Tujuan utama pendidikan adalah
pembentukan akhlak.
Al-Ghazali mengatakan:
”Tujuan murid dalam mempelajari ilmu pengeahuan pada masa sekarang, adalah
kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.
Pendapat itu didukung
oleh Prof. Dr. M. Athiyah Al Abrasyi: “pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari
pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti
dan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna
adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.
3.
Tujuan pendidikan adalah untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Ghazali mengatakan:
“Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan
diri dan mendekatkan diri kepada Allah pencipta alam, menghubungkan diri dan
berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di
dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pemimpin Negara
dan penghormatan menurut kebiasaannya.”
Demikian Al-Ghazali
sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta
kebahagiaan bersama dunia dan akhirat, alasan yang mendukungnya.
“jelasnya, tujuan
manusia itu tergantung dalam agama dan dunia. Agama tidak akan teratur
melainkan dengan teraturnya dunia, dan dunia adalah tempat menyebar benih bagi
akhirat dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah bagi orang yang
ingin mengambilnya menjadikan alat dan tempat tinggal.
D.
Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai
tujuan, Al-Ghazali juga menjelaskan tentang cirri-ciri pendidik yang boleh
melaksanakan pendidikan. Cirri-ciri tersebut adalah:
1.
Guru harus mencintai muridnya
seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
2.
Guru jangan mengharapkan materi
sebagai mana tujuan utama dari pekerjaannya, karena mengajar adalah tugas yang
diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada
terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
3.
Guru harus mengingatkan muridnya
agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untukkebanggaan diri atau mencari
keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4.
Guru harus mendorong muridnya
agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa kebahagiaan dunia
dan akhirat.
5.
Diharapkan muridnya, guru harus
memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah
hati dan berakhlak terpuji.
6.
Guru harus mengajarkan pelajaran
yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
7.
Guru harus memahami minat, bakat
dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik,
juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak
didiknya.
8.
Guru harus dapat menanamkan
keimanan kedalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik
tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.[2]
Guru yang ideal dimasa
sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian yang diungkapkan
tersebut dan persyaratan akademis dan propesional
E.
Peserta Didik
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut
Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekalin potensi
atau fitrah untuk beriman kepada Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah
sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang
cenderung kepada agama islam[3]. Dalam belajar, peserta
didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Belajar dengan niat ibadah dalam
rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik senan tiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak alkarimah (quran surat
al-an’am:162; adz-dzaariyaat:56)
2.
Mengurangi kecenderungan pada
duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. Ad-duha:4)
3.
Bersikap tawadhu’ (rendah hati)
dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
4.
Menjaga pikiran dan pertentangan
yang timbul dari berbagai aliran.
5.
Mempelajari ilmu-ilmu yang
terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6.
Belajar dengan bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang
suka (abstrak) atau dari ilmu fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah. (QS.
Al-fath:9).
7.
Belajar ilmu sampai tuntas untuk
kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik mempunyai
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas
ilmu pengetahuan Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
9.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum
memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat
bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan
hidup dunia akhirat.
Al-Ghazali, mengharamkan upah
(gaji), sesuai dengan zamannya. Karena pada waktu itu sebagian orang yang
berilmu menggunakan ilmunya untuk mencari kenikmatan serta kedudukan di
lingkungan kerajaan, dengan mengajarkan ilmunya kepada anak-anak Raja.
Al-Ghazali mengharamkan
berfilsafat karena pada zamannya sebagian filosof berfilsafat tidak memakai
dasar islam. Ada tiga alasan yaitu:
1.
Tidak mempercayai adanya hari
akhir.(surga dan neraka)
2.
Tidak mempercayai adanya hari
kebangkitan.
3.
Tidak mempercayai bahwa Allah
maha mengetahui.
F.
Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran
yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar
mampu beradaptasi dengan ligkungan. Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum
pendidikan dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan, sebagai
berikut:
1.
Ilmu yang terela, banyak atau
sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun di akhirat,
misalnya ilmu sihir.
2.
Ilmu yang terpuji, banyak atau
sedikit. Misalnya ilmu tauhid atau ilmu agama.
3.
Ilmu yang terpuji pada taraf
tertentu, yang yidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada
kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan tuhan) seperti ilmu filsafat.
Sejalan dengan itu
Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di
sekolah. Ilmu pengetahuan tersebut adalah:
1.
Ilmu al-quran dan ilmu agama
seperti fiqih, hadits dan tafsir.
2.
Sekumpulan bahasa, nahwu dan
makhraj serta lafaz-lafaznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
3.
Ilmu-ilmu yang fardhu khifayah,
yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenis,
termasuk juga ilmu politik.
4.
Ilmu kebudayaan, seperti syair,
sejarah dan beberapa cabang ilmu filsafat.
2.
Filsafat Pendidikan Islam Menurut
Ibnu Khaldun
A.
Biografi Ibnu Khaldun
Sebuah ciri khas yang melatar belakangi kehidupan
ibnu khaldun adalah ia berasal dari keluarga politis, intelektual dan
aristokrasi. Suatu latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang.
‘abd al-Rahman abu zaid ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn khaldun (lebih dikenal dengan ibn khaldun) lahir di thunisia pada tangal 1
ramadhan 732 M mei 1332 M. dan meninggal di kairo tangal 25 ramadhan 808 H/19
maret 1406 M. latar belakang keluarganya saat ia dilahirkan serta menjalani
hidupnya nampaknya merupakan factor yang menentukan perkembangan pemikirannya,
keluarga tlah mewarisi tradisi intelektual didalam dirinya, sedangkan masa
ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunya dinasti-dinasti islam,
terutama dinasti umayah dan abbasiyah memberikan kerangka berpikir dan
teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.
Khaldun
pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya. Sejak kecil ia telah
mempelajari tajwid, menghafal al-quran, dan fasih dalam qira’at. Disamping
dengan ayahnya, ia juga mempelajari tafsir, hadis, fiqh (maliki), gramatika
bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan
tunisia. Pada umur 20 tahun ia telah bekerja sebagai sekretaris Sultan Fez di
Maroko.
Jatuhnya dinasti al-muwahhidun telah mempengaruhi
proses kehidupannya. Konflik dan perang saudara terjadi di sana sini. Suasana
itu ditandai oleh terjadinya perebutan kekuasaan di antara putra-putra
mahkota dan tuan-tuan tanah.
Kota-kotanya pindah dari kekuasaan yang satu ke tangan yang lain dengan
kecepatan yang mengherankan. Hasut menghasut, pembunuhan, dan pemberontakan
merupakan adegan yang biasa terjadi.
B.
Pengertian
Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses untuk
menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan pendidikan yang dikemukakan
oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang
dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba
menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah
atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut
akan mempengaruhi terhadap sistem dan pemikirannya dalam pembahasan setiap
masalah, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat
dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang
pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui
pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara
ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai
dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill)
dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang
suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah
tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami
dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan
tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya
ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu.
Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta
peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan
sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya
mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
Pembinaan pemikiran yang baik.
Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh
karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih
dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis
peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik
untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan
kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.[4]
C.
Tujuan
Pendidikan
Meski ia tidak mengkhususkan sebuah bab atau
pembahsan mengenai tujuan pendidikan islam, namun dari uraiannya memberikan
kesimpulan terhadap arah tujuan pendidikan yang diinginkan. Menurutnya paling
tidak, ada tiga tingkatan tujuanyang hendak dicapai dalam proses pendidikan,
yaitu:
1.
Pengembangan kemahiran dalam
bidang tertentu. Orang awam bias memiliki pemahaman yang sama tentang suatu
persoalan dengan seorang ilmuwan. Dalam hal ini, para pakar (ilmuwan-khawas)
yang memiliki secara sempurna. Sementara untuk samapai pada tahap ini, diperlukan
pendidikan yang sistematis dan mendalam.
2.
Penguasaan keterampilan
professional sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya
ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu.
Pendidikan yang meletakkan keterampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak
dicapai, dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan memajukan peradaban
secara keseluruhan.
3.
Pembinaan pemikiran yang baik.
Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara manusia dengan binatang.oleh
karena itu, pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih
dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis
peserta didik. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka keberadaan pendidikan
merupakan bagian integral dari konstruksi sebuah peradan kemampuan ini akan
bermanfaat bagi menetapakn materi pendidikan yang sesuai tingkat kemampuan
peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi diluar kemampuan peserta
didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap
ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses
pencapaian tujuan pendidikan.[5]
D.
Pendidik.
Seorang pendidik hendaknya memiliki
pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik.
Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta
didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik
hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan
bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan
peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian
terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Bila ini terjadi, maka akan
menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan
keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan
pendidikan.Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu
menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan
6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip
pembiasaan
b. Prinsip tadrij
(berangsur-angsur)
c. Prinsip
pengenalan umum (generalistik)
d. Prinsip
kontinuitas
e. Memperhatikan
bakat dan kemampuan peserta didik
f. Menghindari
kekerasan dalam mengajar
E.
Peserta Didik.
Peserta didik merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu
dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani
maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[6]
Melalui paradigma di atas,
menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya
mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a) Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi
memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan
terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan
orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan,
sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b) Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi
perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap
peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh
faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang
dimilikinya.
c) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut
kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki
perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh
faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam,
yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki
latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara
unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk
mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu
rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan
akhlak dan ibadah.
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
F.
Kurikulum.
Sementara pemikiran Khaldun tentang kurikulum
pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu
pengetahuan dalam kebudayaan islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: ilmu
pengetahuan syar’iyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengeahuan syar’iyah
berkenaan dengan hukum dan ajaran islam, seperti al-quran, hadis, fiqih dan
lain-lain. Pengetahuan filosofis meliputi; logika, fisika, metafisika, dan
matematika. Ilmu pengetahuan filosofis sering disebut sains alamiah.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan menurut
Al-Ghazali adalah proses memanusiakan
manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi khalifah di bumi.
Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu mencapai tujuan
hidupnya di dunia dan akherat, dan hidup yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits.
ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut
mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan
dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu
maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang
ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.
Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap
filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun
harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah
menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia
mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis
insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang
bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa
hidup bermasyarakat.
3.2
Saran
Sebagai manusia yang masih memerlukan pendidikan
hendaknya kita memahami dengan baik, hakikat pendidikan islam serta tujuanya,
sehingga kita dapat mencapai tujuan itu. Dan sebagai manusia yang memiliki
pengetahuan diwajibkan kita untuk mengajarkanya kepada orang lain, sebelaumnya
kita harus memahami hakikat pendidik yang di ridhai Allah agar bernilai ibadah.
Daftar Pustaka
Ø Marimba, Ahmad,
D, 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung; Al-Ma’arif.
Ø
Nata, Abudin , 1997. filsafat pendidikan islam,Ciputat; Logo
Wacana Ilmu.
Ø
Nizar, Samsul, 2002. filsafat Pendidikan Islam, Jakarta;
Ciputat Pers.
Ø
Zainuddin, 1990. Seluk Beluk
Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta; Bumi Aksara.
Ø
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/01/ibnu-khaldun-dan-pemikirannya-tentang_20.html.
0 komentar:
Post a Comment